Pernah nggak sih, merasa ada hari-hari di mana semuanya terasa berat? Bangun pagi sudah dikejar-kejar pekerjaan, perjalanan macet, dan begitu sampai rumah, rasanya cuma ingin rebahan tanpa pikir apa-apa. Buat laki-laki, sering kali semuanya terlihat sederhana. Nafsu bisa “dibeli,” lapar tinggal ke warung, rumah berantakan? Tinggal bayar ART.
Tapi, di sini aku harus tekankan, aku nggak setuju dan nggak akan pernah setuju dengan yang namanya membeli nafsu dalam arti negatif seperti zina. Yang aku maksud dengan “membeli nafsu” lebih ke hal-hal yang menyenangkan, seperti membeli mainan, barang impian, atau sesuatu yang sudah lama diinginkan. Tapi, kenyataannya, nggak semuanya sesimpel itu.
Ini bukan soal lapar, nafsu, atau rumah yang berantakan. Ada hal yang jauh lebih dalam. Ketika lelah sudah sampai titik puncak, yang dicari bukan lagi fasilitas atau solusi instan. Yang dicari adalah tempat pulang yang nyaman. Tempat di mana semua beban itu seakan menguap meski cuma sebentar.
Aku pernah berpikir, rumah itu ya rumah, tempat kita tidur, makan, dan berlindung dari hujan. Tapi makin ke sini, aku sadar rumah itu lebih dari sekadar bangunan. Bukan soal luasnya, mahalnya perabotan, atau cat temboknya yang instagramable. Rumah adalah tempat di mana hati ini merasa diterima, tempat di mana kita bisa jujur tentang rasa capek tanpa harus pura-pura kuat.
Capek itu kan nggak selalu soal fisik. Kadang, yang bikin lelah justru hal-hal yang nggak kelihatan. Tekanan pekerjaan, ekspektasi orang-orang, atau bahkan sekadar rasa kosong yang nggak tahu dari mana datangnya. Dan anehnya, sering kali kita baru sadar pentingnya rumah yang nyaman justru di momen-momen seperti itu.
Aku punya seorang teman, sebut saja namanya Budi. Dia pernah cerita, “Gue tuh nggak masalah kerja sampai malam, kena macet, atau bahkan dimarahin bos. Tapi gue nggak tahu kenapa, kadang gue lebih takut pulang ke rumah yang sepi.” Waktu itu aku cuma bisa diem, karena ya, aku paham apa yang dia maksud. Rumah itu memang lebih dari tempat istirahat. Kalau rumah terasa kosong, lelah yang kita bawa dari luar jadi terasa berkali-kali lipat lebih berat.
Tapi tempat pulang yang nyaman itu nggak selalu berarti ada pasangan yang nungguin, anak-anak yang menyambut di pintu, atau suasana yang selalu penuh canda tawa. Kadang, tempat pulang itu sesederhana sudut kecil di rumah di mana kita bisa duduk sendiri, minum kopi, dan ngerasa “aman.” Aman dari tuntutan, aman dari ekspektasi, aman dari rasa capek yang terus menghantui.
Aku nggak bilang semua orang harus punya rumah sempurna untuk bisa merasa nyaman. Kadang, tempat pulang itu bukan soal fisik, tapi lebih ke suasana. Suasana yang bikin hati ini tenang, bikin kita tahu bahwa setelah semua kelelahan, ada ruang di mana kita bisa jadi diri sendiri tanpa takut dihakimi.
Jadi, kalau kamu lagi capek, nggak apa-apa kok. Kadang, capek itu memang cara tubuh dan pikiran bilang, “Hei, istirahat dulu.” Dan ketika akhirnya kamu sampai di tempat pulangmu, entah itu rumah, kamar, atau bahkan pelukan seseorang, nikmatilah. Karena di dunia yang sering terasa dingin ini, punya tempat pulang yang nyaman itu adalah salah satu hal yang paling berharga.
Dan buat aku? Tempat pulang itu adalah cerita ini, berbagi, dan tahu bahwa mungkin, di luar sana ada yang merasa nggak sendirian karena membacanya. 🙂